Halal Bi Halal SD Negeri Sarikarya 1438H
Syawalan atau halal bi halal adalah tradisi yang adi luhung milik bangsa Indonesia setiap Idul Fitri seluruh bangsa Indonesia baik yang beragama islam maupun non islam ikut dalam acara syawalan atau halal bi halal. Untuk mengikuti prosesi ini tidak sedikit yang ahrus bersusah payah mudik ke kampung halaman sekedar untuk mengikuti halal bi halal atau syawalan. Lihat betapa semangat orang-orang dalam melakukan safar atau perjalanan untuk pulang kampung dalam merayakan Idul Fitri.
Syawalan SD Negeri Sarikarya juga setiap tahun diadakan secara rutin dan berpindah-pindah yang pada tahun 1438H atau 2017 bertempat di rumah bapak Sumarjono desa Kejambon selaku mantan Kepala Sekolah SDN Sarikarya. Suasana keakraban dan silaturahmi sangat terpancar yang membuat orang-orang jauh-jauh akan berbondong-bondong untuk syawalan adalah indahnya kebersamaan.
Kata majemuk ini tampaknya memang made in Indonesia, produk asli negeri ini. Kata halal bi halal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sejumlah orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.”
Halalbihalal memang bukanlah syariat Islam, tapi merupakan kearifan lokal. Ini merupakan produk asli Indonesia, baik sisi penamaannya maupun cara pelaksanaannya. Halalbihalal bisa dilakukan di mana-mana, mulai dari perkampungan, perkotaan, sekolahan, perkuliahan, bahkan sampai di perkantoran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, halalbihalal diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang. Sedangkan dalam Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan bahwa halalbihalal berasal dari Bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikalnya yang benar sebagai pengganti istilah silaturahmi.
Drs H Ibnu Djarir (MUI Jawa Tengah) menulis bahwa ada banyak versi sejarah dimulainya halalbihalal. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, kegiatan ini mula-mula digelar oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I yang masyhur dijuluki Pangeran Sambernyawa.
Sejarah mencatat, bahwa Bung Karno sempat menghadiri tradisi sungkeman ini pada Idul Fitri 1930 di keraton. Saat itu polisi Belanda sempat ingin menangkap Bung Karno, karena curiga akan ada aktivitas pemberontakan.
Sedangkan dikutip dari nu.or.id, sebagaimana diceritakan oleh KH Fuad Hasyim (alm) Buntet, Cirebon, pada acara Halalbihalal di Ponpes Mambaul Ulum Tunjungmuli, Purbalingga, yang diselenggarakan oleh Alumni Ponpes Lirboyo, 12 Desember 2002/9 Syawal 1423 H, penggagas istilah halalbihalal adalah KH Wahab Chasbullah. Beliau merupakan salah satu perintis organisasi Nahdahtul Ulama ( NU ) yang biasa dipanggil Kiai Wahab.
Bermula pada 1948 ketika Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Saat itu para elite politik saling bertengkar, pemberontakan terjadi di mana-mana. Pada pertengahan bulan Ramadan, Presiden Soekarno mengundang Kiai Wahab ke Istana Negara, untuk diminta pendapat mengenai solusi konflik politik Indonesia pada masa itu.
Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahmi antar pemimpin politik, apalagi Hari Raya Idul Fitri segera tiba. Lalu Bung Karno menjawab, “Silaturahmi, kan biasa, saya ingin istilah yang lain”.
Kiai Wahab pun memberi istilah Halalbihalal beserta penjelasan makna filosofinya. Kiai Wahab menjelaskan, terkait permusuhan antar tokoh politik yang menurutnya adalah haram, maka harus dihalalkan, disudahkan.
“Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halalbihalal’,” jelas Kiai Wahab.
Atas saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturrahmi yang diberi judul ‘Halalbihalal’. Akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Manusia adalah makhluq yang memiliki potensi untuk berbuat salah sebagaimana sabda nabi yang disimpan oleh Imam Al-Maraghi untuk menafsirkan firman Allah Ta’ala dalam QS.Al-Baqarah:285
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah –shallallah ‘alaih wasallam– bersabda: “Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari)
Sumber Bacaan :